Rabu, 07 Desember 2011

Do You Remember Me

Do You Remember Me ?


DOK! DOK!! DOKKK!!!

“Yaaaaa!” gedoran yang cukup untuk membangunkan satu penghuni kost-kostan itu terdengar.

Sang pemilik kamar yang masih saja bergulung di selimut mengabaikan panggilan itu. Masih nyaman bergulung diselimutnya, ia menutup saluran pendengarannya dengan headset dan memutar lagu Run Devil Run milik Seo Nyeo Shi Dae dengan volume yang cukup untuk menulikan telinga.

“Fayaaaa!!! Kalo kamu nggak keluar, pintu aku dobrak.” Seseorang dibalik pintu mengancam. Namun, tak ada jawaban dari sang pemilik kamar, karena kini ia tengah kembali ke Dream Land bersama Sooyoung Seo Nyeo Shi Dae dan nge-dance Run Devil Run bersama.

BRUAKKK!

Pintu yang malang itu benar-benar di dobrak dari luar, menampakkan seorang cewek berkerudung cokelat muda dan mengenakan kemeja cokelat kotak-kotak ditambah celana jeans hitam. Ia memajukan bibirnya sebal saat melihat temannya itu masih saja bergulung di dalam selimut, padahal jam tidur siang sudah terlewat.

“Ni anak ya! Udah jam empat begini masih aja tidur.” Gerutunya. “Ya, bangun! Katanya mau nganterin aku ke toko buku?”

Tak ada sahutan.

“Ya!” dengan tidak sabaran cewek itu pun menyingkap selimut sang pemilik kamar dan memutar bola matanya sebal saat melihat kabel headset yang sudah kusut tak karuan itu. “Pantesan aja nggak denger, kupingnya aja udah budeg dari tadi.”

Meraih headset dan melepasnya ia mengguncang-guncangkan tubuh Faya lagi. Membuat sang empu-nya kamar mengerang sebal dan membuka matanya walau sedikit. “Apa?”

“Sekarang jam berapa?” memutar bola matanya sebal cewek itu menunjuk-nunjuk jam di dinding dengan kesal.

Dengan susah payah Faya menoleh untuk melihat jarum jam dengan mata yang lima watt. “Jam dua.” Jawabnya asal.

“Faya yang baek, liat deh itu jam bener-bener!” cewek itu mencoba bersabar dan ber-istighfar dalam hati.

“Jam dua Syifa! Kalo mau ganggu aku mending jam tiga aja ya? Sekarang ngantuk ni. Baru baca fanfic nyaris setengah fandom.” Balasnya sambil memejamkan mata dengan damai.

Cewek bernama Syifa tadi rasanya ingin mencakar-cakar Faya. “Ya, sekarang udah jam empat. Yang kamu liat itu jarum panjang, bukan jarum pendek! Sekarang, bangun, mandi trus ikut aku ke toko buku!”

“Toko buku?” seketika itu juga Faya terbangun dari tidurnya. Syifa mengangguk-ngangguk kaku.

“Iya, kamu kan udah janji_”

“Sori lupa!” tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Faya segera menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Syifa menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Mendengar kata ‘toko buku’ langsung saja membuat Faya bersemangat. Tentu saja bersemangat, karena di sana, dia pasti akan membaca teenlit yang sudah terbuka sampul plastiknya dengan gratis.

*Do U Remember Me?*

“Ya, Ya, sini deh!” Syifa menyeret Faya ke arah sebuah papan yang memberitahu mereka bahwa boyband SM*SH akan tampil di Plaza besok. Dan tentu kabar ini membuat Syifa memekik senang. Sedangkan Faya hanya mendengus bosan. Baginya, itu sudah biasa, tapi jika Seo Nyeo Shi Dae datang ke Plaza besok, itu baru luar biasa.

“Apaan sih? Emang mereka eksis ya?” Tanya Faya.

“Ya ampun Ya, kamu kemana aja?”

“Ada. Gak kemana-mana.” Jawabnya enteng. Syifa tepuk jidatnya.

“Makanya, jangan ngurung diri di kamar terus, nonton TV kek. Kamu sih, baca fanfic kebangetan banget, sampe-sampe nggak tau kalo mereka lagi booming di Indonesia.”

“Nggak gitulah! Kamu taukan kalo aku nggak punya duit buat beli teenlit? Jadi, aku cari-cari aja di fandom sama blog-blog.” Jawabnya.

“Ya tapi nggak usah segitunya kaliii…” balas Syifa. “Oya, besok kan minggu. Kita ke sini lagi ya?”

“Nggak!” Faya menolak mentah-mentah gagasan itu.

“Ayolaaaah! Temenin aku nonton mereka ya?”

“Nggak!”

“Ih, Faya gitu.” Bibir Syifa mengerucut. Melihat Faya tetap cuek, Syifa pundung. “Kalo gitu, besok-besok aku nggak mau bawa kamu ke toko buku lagi.”

“Eitss… kenapa ada acara ngancem-ngancem segala?” gerutu Faya.

“Abisnya…”

“Iya iya… besok ikut.” Balas Faya dengan tampang nggak ikhlas.

“Ha? Beneran? Asyiiiik… akhirnya… aku bisa liat Morgan secara langsung.”

Faya memasang tampang cemberut sambil mengacak-ngacak rambut panjangnya. “Tapi, sekali ini aja ya! Cuma nonton SM*SH, nggak yang laen-laen.”

“Iya… iya…” jawab Syifa. “Sekarang kita makan yuk, udah itu kita sholat maghrib.”

“Nggak Fa, yang ada kita Sholat dulu, baru makan.” Bantah Faya.

“Nggak Ya, yang ada nanti malah kebayang makanan waktu sholat dan itu nggak boleh!” balas Syifa

“Nggak Fa, yang ada entar kita lupa gara-gara kekenyangan trus nggak bisa gerak, kalo keburu isya kan lebih dosa. Jadi, mending sholat dulu, terus makan, leha-leha bentar buat nunggu adzan Isya, baru deh sholat terus nonton. Beres kan?” setelah perdebatan tentang yang mana yang harus dituju terlebih dahulu, akhirnya Syifa mengalah dan mengikuti Faya ke luar gedung plaza dan berjalan ke arah sebuah masjid.

BRUKKK!!!

“Aduh!” Faya memekik sakit saat bahunya bertubrukkan dengan bahu seorang cowok yang wajahnya tertutupi topi hitam.

“Sorry!” gumam cowok itu, cukup terdengar Faya dan Syifa. Cowok itu mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Faya. Syifa terbengong.

“Rafael…” suara Syifa yang lirih terdengar jelas dan menggantung. Faya menatap Syifa dengan pandangan bertanya mengenai cowok yang kini tengah tersenyum padanya.

“Faya…” cowok itu menyapanya. Faya mengernyit. Merasa situasi aneh ini tidak nyaman, ia pun menarik tangan Syifa untuk pergi menjauhi cowok yang tidak dikenal itu. Baginya, berhadapan dengan orang yang tak dikenal tapi menyebut namanya sama dengan ‘bahaya’. Terlebih lagi, saat melihat cowok itu… entah kenapa ia merasakan sesuatu yang aneh.

*Do U Remember Me?*

Setelah menunaikan ibadahnya, kedua cewek itu tengah menikmati makan malam mereka di kafe Plaza yang terlihat sepi. Beberapa meja ditempati oleh seorang wanita berumur tiga puluhan dengan seorang pria yang Faya terka sebagai rekan bisnisnya. Dan beberapa anak remaja tengah mengelilingi satu meja sambil berbicara pelan-pelan dan seorang pemuda yang membelakangi Faya.

“Ya? Aku mau Tanya lagi.” Syifa menunjukkan satu jarinya setelah meneguk Coca Cola.

“Apa?” Faya membalas tanpa minta untuk menyimak pertanyaan Syifa.

“Kenapa Rafael bisa tau nama kamu?” tanyanya serius.

“Hah? Rafael? Rafael mana? Aku nggak tau aku kenal sama orang yang namanya Rafael.”

“Itu, orang yang tadi nabrak kamu itu.” Syifa mendesis sebal.

“Oh. Nggak tau. Aku aja nggak kenal dia. Kok kamu bisa tau sih namanya?”

“Jelas tau dong! Dia itu kan Rafael, salah satu personil boyband SM*SH.” Jawab Syifa.

“Masa? Boyband yang besok mau tampil di Plaza itu?”

Syifa mengangguk-ngangguk. “Hu-uh. Kamu yakin nggak kenal orang itu?”

“Nggak. Nggak sama sekali.” Jawabnya cukup lantang. “Aku nggak punya kenalan artis.”

“Hmm… sayang banget tadi aku nggak minta tanda tangan dia.” Syifa memelas. Faya mendelik kesal. “Kamu sih, pake nyeret-nyeret aku.”

“Syifa, denger ya! Orang yang nggak dikenal itu berbahaya.” Faya menekankan kata terakhir dengan menggebu-gebu. Syifa menaikkan alisnya.

“What? Bahaya dari mana, Ya?”

“Kamu nggak tau sih. Aku kasih tau kamu dari sudut pandang seorang psikopat ya. Biasanya, orang-orang yang nggak di kenal itu harus diwaspadai, karena mereka bisa saja membahayakan kita, tanpa sepengetahuan kita. Keliatannya aja dari luar baik, tapi siapa tau dia punya penyakit kejiwaan yang tidak terlihat oleh panca indera. Dan orang-orang seperti itu, patut kita curigai sebagai penguntit atau stalker.” Jelas Faya panjang lebar.

“Kayaknya kamu kebanyakan baca fanfiction deh, makanya jadi parno begitu.”

“Fa, aku bukan parno ya! Aku ini hanya memberi dugaan logis supaya kita berhati-hati terhadap orang asing.” Balasnya.

Syifa mengerucutkan bibirnya sebal. Beginilah resikonya jika memiliki teman yang kecanduan fanfiction bergenre mystery dan sulit bersosialisasi. Diam sejenak untuk mengganti topi pembicaraan, Syifa melirik arlojinya.

“Udah ini kita kemana?” tanyanya.

“Um… kayaknya aku mau beli keperluan buat mandi deh, sabun buat muka udah abis, terus sampo udah tinggal sekali keramas lagi. Udah itu, kita baru ke masjid. Gimana?”

“Boleh deh, lagian aku juga mau beli pembalut untuk jaga-jaga. Udah itu, kita jadi nonton kan?”

“Jadi dong! Neulis sama Novi udah di kasih tau?”

“Udah. Tadi udah aku SMS.” Jawab Syifa sambil menekan-nekan keypad ponselnya. “By the way, ini perasaan aku aja atau kita sering malming berempat terus. Berasa nggak ada cowok aja.”

“Ha? Ngeluh nih?” ledeknya. “Kalo aku sih biasa aja tuh kencan sama kalian.”

“Yang kayak begini di sebut kencan?” Syifa melotot kesal. Faya hanya mendengus menahan tawa.

“Udah ah, kita cabut dari sini.”

“Ayok!” Faya pun memanggil seorang pelayan cowok yang baru saja lewat untuk meminta bill. Dan kedua gadis itu terkejut ketika mendengar jawaban si pelayan cowok itu.

“Tadi sudah di bayar sama temen mbak.”

“Hah?” Faya dan Syifa bertukar pandang bingung. Akhirnya, mereka keluar dari kafe itu masih dengan pandangan bertanya-tanya. Tapi, setelahnya mereka malah bersyukur karena mendapat makan gratis.

*Do U Remember Me?*

“Eh… itu mereka.” Tunjuk Syifa. Kedua cewek itu menghampiri teman mereka.

“Kalian lama.” Gerutu Neulis, si mojang Bandung itu.

“Sorry…” jawab Faya. Novi mengangguk-ngangguk.

“Filmnya bentar lagi diputer.” Ujar Novi. “Kita udah beli tiketnya.” Sambil menunjukkan empat tiket itu. Dan saat terdengar pemberitahuan itu entah kenapa, Faya jadi merasa ingin ke toilet.

“Eh, aku ke toilet dulu ya? Kebelet niiih…”

“Yaaah… Faya, kenapa nggak dari tadi sih?” gerutu Neulis.

“Ya… ini juga mendadak.”

“Ya udah, ini tiket kamu. Entar nyusul ke dalem ya?”

“Ok.” Sahut Faya.

*Do U Remember Me?*

‘Leganya…’ batin Faya sambil berjalan menuju ruang tunggu untuk masuk studio 3.

“Hei!” seseorang menepuk bahunya. Faya menoleh dan terkejut melihat cowok yang memakai topi hitam itu tersenyum padanya. Cowok yang tadi sore menabraknya. Cowok yang ia ketahui dari Syifa bernama Rafael.

“Apa?” Faya menyahut dengan tidak suka.

Cowok itu mengernyit heran. “Lo Faya kan?” tanyanya.

“Kalo gue Faya, emang kenapa?” balasnya judes.

Rafael menggaruk belakang kepalanya. “Lo masih inget gue kan?”

“Nggak tuh…” jawabnya.

Rafael tertohok. “Masa sih?”

“Kalo emang gue nggak inget lo? Lo mau apa?”

“Nggak mau apa-apa sih.” Jawab Rafael merasa tidak enak.

“Udah ya! Gue mau nonton.” Faya berbalik dan berjalan ke arah pintu studio 3. Dan mengeluarkan tiketnya yang ada di dalam saku.

“Eitss… tunggu dulu! Kata siapa lo boleh pergi?” Rafael menarik lengan Faya.

“Apa lagi ya?” Faya mendengus jengkel.

“Lo mau nggak temenin gue jalan-jalan sebentar?” Tanya Rafael.

“Nggak.” Jawab Faya ketus. “Gue mau nonton.” Ia mengacungkan tiketnya. Dan Rafael seketika itu juga mengambil tiket itu dari tangan Faya dengan cepat dan merobeknya menjadi serpihan kecil.

“Hei!” Faya melotot kesal. “Gue pengen nonton!” serunya tiak terima.

Nah, karena tiket lo udah nggak ada. Jadi, mending lo ikut gue aja. Ya?”

Dengan menahan dirinya untuk tidak memukul kepala cowok itu, dia ikut saja saat cowok itu menariknya keluar dari bioskop dan duduk di Mc.-* menikmati French Fries yang sangat dia sukai. Dan menahan diri untuk bicara banyak-banyak, karena ia masih marah pada cowok itu. Dasar Faya, masih marah tapi menikmati traktiran cowok itu.

“Lo yakin nggak inget gue?” tanyanya.

Faya menatap cowok didepannya itu dengan pandangan menyelidik. Ia merasa pernah melihat cowok itu sebelumnya tapi entah dimana, ia lupa. “Nggak.” Jawabnya jujur.

Rafael menaruh kedua sikunya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya ke arah Faya. “Yakin? Pertama kali gue ketemu lo, lo abis nyanyi di Ciwalk waktu ada Gathering Sone (Sowon).”

Faya mengernyit. Ciwalk? Bandung? “Terus?”

“Waktu itu lo nyanyi lagu-nya Seo Nyeo Shi Dae yang Into the New World kan?”

Faya menatap Rafael heran. “Kok tau?”

“Tau laaah… kan gue juga ada di situ.”

“Masa?”

Rafael mengangguk. “Kita juga sempet ketemu dan ngobrol kayak begini.”

“Hah?”

“Lo masih inget nggak sama Nissa Yunji?” Tanya Rafael menyebutkan nickname seseorang.

“Penyiar radio itu? Masih dong!” jawab Faya terlihat antusias.

“Dan lo pasti inget kan sama orang yang dulu nemenin dia siaran?”

“Hah?” Faya memutar otaknya untuk mengingat-ngingat.

“Dulu, lo kenal gue sebagai Landry Tanubrata.”

“Ah!” mata Faya bersinar-sinar. Sekarang ia ingat siapa cowok yang kini tengah duduk dihadapannya. “Lo Landry yang kata cewek-cewek itu mirip Jung Yunho Dong Bang Shin Ki kan?”

Landry mengernyit mendengar sebutan itu. “Emang mirip ya?”

“Nggak juga sih.” Faya berkata buru-buru. “Gue inget. Dulu lo narsis banget, sampai-sampai tiap lo update foto pasti yang angle-nya mirip Yunho.” Faya cengengesan mengingat itu.

Rafael menggeleng tak percaya. Jadi yang diingat Faya tentang dirinya hanya itu saja? Dia mendengus kesal. Susah-susah dia mencari-cari tahu tentang cewek itu, eh cewek itu malah sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia mengenal Rafael.

“Udah ketawanya?” Tanya Rafael jengkel.

“Sorry Lan!” ucapnya dengan nada yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.

Menggeleng pelan ia pun bertanya untuk mengurangi rasa canggung. “Apa kabar?”

“Baik.” Jawab Faya, tidak ada niatan untuk bertanya balik.

“Boleh gue tau? Kenapa lo remove gue di facebook?”

Faya agak kaget mendapat pertanyaan itu. Dan memasang tampang pura-pura tidak tahu untuk menipu dia balas bertanya, “Gue nge-remove lo? Kapan?”

“Tiga bulan setelah kita ketemu di Gathering itu.”

Untuk lebih menipu lagi, Faya menatap Rafael lurus-lurus. “Gue nggak remove lo kok. Elo kali yang remove gue.”

“Ya, gue nggak pernah nge-remove sia pun di facebook. Baik orang yang gue nggak suka atau benci.”

Faya terdiam. “Hmmm…. “ berpikir sejenak, ia pun akhirnya berkata, “Hmm… mungkin dulu gue pernah nggak sengaja remove lo. Gue nggak begitu inget.”

“Lo nge-remove gue, dan elo sama sekali nggak inget?” Rafael mulai panas.

“Heh! Bukan mau gue remove lo.” Lagi-lagi Faya berbohong. Dulu ia me-remove Rafael dengan kesadaran penuh. Dia saat itu sedang patah hati. Diputuskan pacar yang juga merupakan sahabat kecil memang membuatnya sedikit buta arah hingga me-remove semua cowok di facebook yang menjadi temannya. “Gue waktu itu lagi stress. Jadi, gue remove semua cowok di facebook gue.”

Rafael menatapnya heran. “Cuma itu?”

Faya mengangguk. “Iya.”

“Atau jangan-jangan lo abis diputusin cowok lo?” terka Rafael.

“Itu bukan urusan lo!” balas Faya dingin.

“Sorry sorry. Cabut yuk!” ajaknya sebelum cewek itu lebih marah lagi terhadapnya.

“Kemana?”

“Malioboro. Bantuin gue beli oleh-oleh.”

Dan tiba-tiba ia merasakan getaran pelan dalam tas dipangkuannya. Mengaduk-ngaduk tasnya untuk mendapatkan handphone-nya, dia membuka kunci tombolnya dan terbelalak. Dua puluh empat SMS yang semuanya didominasi oleh Syifa.

Menepuk jidatnya pelan, ia pun membalas pesan itu.


To: Syifa
Sori, aku gk jd nonton.
Tiketny ntar aku gnti.
Aku plg dluan.
*Do U Remember Me?*

“Menurut lo, yang bagus yang mana?” Rafael menunjukkan 2 pakaian wanita dengan motif batik yang berbeda warna.

“Buat nyokap lo ya?” Rafael mengangguk. “Kayaknya yang cream bagus. Tapi, terserah lo sih.” Jawab Faya.

Rafael mengangguk, lalu menghampiri kasir. Setelah selesai Faya agak sedikit aneh melihat Rafael menenteng bebeapa kantong belanjaan. So? Cowok gitu. Akhirnya ia pun berisnisiatif untuk membantu cowok itu. “Landry, mending itu gue aja yang bawa.”

“Nggak usah.” Jawab Rafael pendek.

“Hei, sini, gue bantu separo. Entar orang-orang ngira gue cewek gak tau diri yang main nyuruh waktu lagi jalan sama temen. Terlebih lagi, lo cowok.”
“Gak papa, toh gue yang beli.”
“Tapi, gue nggak enak juga liatnya.”
Tidak bisa membalas kata-kata Faya, Rafael pun membiarkan cewek itu membantunya membawa kantong-kantong belanjaan itu. Rafael diam-diam tersenyum memperhatikan cewek yang lebih muda darinya beberapa tahun itu.

Setelah membantunya membeli ini-itu disepanjang jalan Malioboro yang ramai itu, akhirnya mereka mengistirahatkan kaki mereka di H*k* H*k* B*nt*. Dan tentu saja, Rafael yang traktir, toh Faya sudah bilang pada cowok itu, jika ia ingin ditemani belanja, Faya tidak ingin mengeluarkan uang sepeserpun. Dan Rafael menyanggupinya.

“Sekarang, impian lo jadi penyanyi tercapai. Seneng?”

“Seneng banget.” Jawab Rafael. “Oya, suara lo bagus. Kenapa lo nggak jadi penyanyi juga?”

“Nggak segampang itu kali Lan! Butuh perjuangan.”

“Gue bisa bantu lo.”

Faya menggeleng. “Gue nggak mau jadi penyanyi seperti itu. Gue pengen usaha sendiri. Lagian, gue juga pengennya jadi penyanyi khusus soundtack anime, kek di Jepang gitu.”

Rafael tertawa. “Di sini mana ada yang kayak begitu.”

“Makanya, gue sekarang ogah jadi penyanyi. Mending karaokean aja. Seneng dapet, bebas nggak diuber-uber fans sama anti-fans.”

Rafael tertawa kecil dan meneruskan makannya. “Oya, lo tadi mau nonton sama siapa aja?”

“Temen-temen gue. Oya, gue boleh minta tolong nggak?”

“Apa?”

“Minta tanda tangannya Mordan yang se-grup sama lo itu, temen gue ngefans berat sama dia.”

“Ha? Morgan kali.” Ralat Rafael.

“Nah, iya itu.. terserah apa deh. Pokoknya mintain tanda tangan dia ya?”

“Oh. Oke. Tapi lo besok temenin gue jalan-jalan lagi ya?”

“Enak aja. Kan gue udah nemenin lo dari tadi.” Gerutu Faya.

“Inikan untuk permintaan lo yang minta segala akomodasi ditanggung gue. Nah, untuk tanda tangan itu lain lagi.” Faya mendelik sebal.

*Do U Remember Me?*

“KYAAAAAA….. MORGAN!”

“BISMAAA… “ jeritan-jeritan cewek-cewek terdengar saat SM*SH menyanyikan tembang mereka ‘I Heart You’. Faya mendengus kesal. Setidaknya teman-temannya tidak berteriak se-norak itu.

Ia dan keempat temannya hanya menatap SM*SH yang sedang perform dengan wajah ceria, kecuali Faya yang menatap bosan ke arah Rafael dan kawan-kawannya. Setelah menguap beberapa kali, Syifa menyikutnya.

“Ya, Rafael ngeliat ke arah lo tuh.” Bisik Syifa.


‘Girl, I heart you…’

Rafael membentuk hati dengan kedua tangannya ke arah Faya. Faya hanya terbelalak, lalu cepat-cepat menguasai diri dan balas menatap Rafael daftar. Dan setelah perform selesai, Faya berusaha mengajak teman-temannya untuk pulang, karena sebenarnya matanya sudah lima watt. Tapi, ketiga temannya menolak ajakannya dan menyeret gadis itu ke kafe.

*Do U Remember Me?*

“Nih.” Di malam yang berbintang itu, Rafael menyerahkan tiga buku catatan kecil berwarna hitam. “Semua tanda tangan member SM*SH ada di situ.”

“Hoho… thanks.” Faya menerimanya dengan wajah berseri-seri membayangkan Syifa, Novi, dan Neulis terpekik senang.

“By the way, gue nggak ngasih lo. Nggak papa, kan?”

“Nggak papa, toh gue nggak minta buat gue.” Jawab Faya.

“Emm… tapi…” Rafael mengeluarkan sebuah buku catatan berwarna biru dan memberikannya pada Faya. buku catatan yang lebih besar dari pada ketiganya. “ini buat lo.”

“Hm? Buat gue?” Faya menatap Rafael yang menggaruk kepalanya dengan heran.

“Yah… buat catatan kecil.” Jawab Rafael.

“Thanks.” Faya tersenyum senang, memasukkan barang-barang itu ke dalam tasnya dan menatap Rafael.

“Gue seneng banget dua hari ini. Makasih.”

“Seharusnya gue yang bilang gitu. Lo baik banget sama gue, padahal lo udah gue palak abis-abisan selama jalan.” Ujar Faya.

“Nggak apa-apa kok Ya. Toh itu kemauan gue. Gue seneng kok.”

Faya mengangguk. “Kalo liburan, kesini aja Lan. Kapan-kapan gue anter ke tempat-tempat laen deh.”

“Thanks Ya. Lo emang baik.”

“Iya dong, Faya!” Faya bernarsis ria tanpa menyadari wajah lawan bicaranya yang menatapnya dengan pandangan lembut.

“Gue suka elo Ya” pernyataan dari mulut Rafael membuat Faya terperangah beberapa saat. Ia rasakan jantungnya berdetak cepat tak beraturan. Menguasai keadaan dengan cepat, ia membalas pernyataan itu dengan tersenyum.

“Gue juga suka elo, Lan. Lo temen yang baik buat di ajak jalan.” Balas Faya.

“Tapi, gue suka sama lo bukan sebagai temen.”

Faya terdiam beberapa saat, lalu membalas dengan senyum. “Terus sebagai apa dong? Sahabatkah?” Tanya Faya. Faya tahu kemana arah pembicaraan Rafael. Dan dia menyesalinya.

“Gue suka elo, sebagai sebagian di sini.” Jawab Rafael sambil menunjuk dadanya. Faya menatapnya dengan nanar. “Gue udah perhatiin lo dari sejak kita pertama ketemu.”

Faya diam. Ia tidak berani membuka suaranya. “Waktu itu lo masih SMA kelas dua. Dan setelahnya, lo temenan sama gue via facebook. Dan nggak tau ada angin apa… tiba-tiba lo remove gue. Waktu itu gue sedih.”

Faya lagi-lagi diam. “Tapi, gue ngerti kenapa lu nge-remove semua temen cowok lo. Gue sempet liat status-status lo dan beberapa notes yang lo buat di facebook.” Jelasnya. “Tapi, gue diem aja. Gue nggak mau ganggu lo yang lagi kalut.”

Menarik nafas panjang ia pun membalas, “Maafin gue ya Lan. Gue nggak bermaksud…”

“Gak apa-apa.” Sela Rafael. “Ngeliat lu baik-baik aja, gue udah seneng.”

“Thanks.” Balas Faya. Dia bingung harus berkata apa lagi selain ‘thanks’. Dan lagi, ia tidak mungkin menerima Rafael begitu saja. Karena satu perbedaan membuat mereka terlihat kontras dan tidak mungkin bersatu. Dan keduanya tahu akan itu.

Menghela nafas berat, Rafael menatapnya lurus-lurus. “Gue besok bakal balik ke Bandung.”

“Oh…” sahut Faya singkat. “Hati-hati kalo gitu.”

Rafael tersenyum. “Lo juga, hati-hati di sini.” Ia mengusap rambut Faya. “Gue pulang ya. Sampai ketemu lagi.” Rafael berbalik begitupun Faya. Keduanya tidak mau menoleh, karena jika mereka menoleh mereka akan semakin terluka melihat satu sama lain.

Kini, mereka berdua berdiri saling memunggungi dan meresapi sebuah kalimat yang tidak akan pernah mereka sangka, mereka akan mengalaminya dan merasakan rasa pahitnya yang menusuk dan akan membekas dalam-dalam di hati mereka.

Bahwa cinta tidak harus saling memiliki.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar